STALKING #1

>> Selasa, 21 Juni 2016



Membaca Adalah Investasi

@auliemalaa



I warned you: Ini bukan catatan serius.



Inspirasi bisa muncul dari mana saja (?) Benar.

Kali ini saya akan bercerita mengenai salah satu kegemaran saya. Saya suka stalking, stalking TL siapapun; teman dekat, teman jauh, orang yang saya kenal, orang yang tak kenal saya ( tak saya kenal), mantan gebetan, mantan–pedekate-in–, penyair favorit saya, olshop yang koleksinya unyu-unyu, adik, kakak, dan banyak lainnya dari yang kata orang penting banget sampai yang gak penting banget dan termasuk manusia yang saya suka yang kata orang-orang disebut “calon pasangan hidup”. Hheu, bias dengan waktu sebentar yang hitungannya ribuan detik atau lama yang waktunya sampai bisa mengganggu jadwal mandi. Oh iya, saya lupa untuk menyebutkan, saya tak pernah stalking TL mantan pacar. Karena, maaf saja, saya bukan bagian dari komunitas “Sumo” (Susah Move On) atau pun “Galon” (Gagal Move On). Hheu, saya boleh sombong dong (sambal ketawa jahat).

Pagi yang gerimisnya tak kunjung usai, seorang teman menandai potret saya di salah satu akun sosial media-nya @fidoremifa. Setelah melihat dan mempertimbangkan, saya setuju bahwa potret kami berdua ternyata lumayan keren juga ya, (karena) titik fokusnya adalah potret Widji Tukul dengan kalimatnya: “Apa gunanya banyak baca buku, kalau mulutkau bungkam melulu". Saya sejenak menyadari bahwa kami (saya dan dia) memiliki beberapa persamaan walaupun tentu lebih banyak perbedaannya, hheu.

Beberapa persamaan diluar kegiatan yang terhubung dengan banyak orang, kami sama-sama penyuka sastra, secret admirer-nya Aan Mansyur, penikmat puisi (atau lebih tepatnya kalimat puitis – yang suka muncul pas melancholic moment – hoho), dan sama-sama mengakrabi keheningan (saya sudah mengkonfirmasinya untuk hal yang terakhir ini, ahaha dalam sebuah pesan singkat).

Lalu bagaimana dengan perbedaan yang lebih banyak? Saya tentu lebih mungil dan imut dari dia yang memang lebih tinggi sedikit (sedikit doang ya) dan sayangnya dia lebih manis sih (hahaha). Kalau saya masih tengah asyik menikmati proses, dia tentu sudah menambah beberapa huruf di belakang namanya beberapa bulan lalu. Kami sama-sama tengah belajar mandiri yang hobinya menikmati akhir pekan dan liburan. Dia bookaholics, tapi saya sudah pernah melewati fase itu, – dan sekarang tengah hiatus –.

Kembali lagi ke hobi stalking saya yang kadang menghasilkan renungan – yang gak jelas – hoho. Hasil stalking kali ini yang ingin saya renungkan dari Timeline akun sosial media miliknya bukanlah koleksi bukunya yang seabreg – walaupun itu sangat menggoda– . Tapi sekarang saya hampir sadar bahwa ada hal-hal yang harusnya saya lakukan, tak peduli seberapa sedikit atau banyaknya pendapatan. JAJAN SEHAT, itu yang belum saya lakukan. Pesan terbaik yang dia tujukan ke saya saat saya bilang naksir bukunya mas Chandra Malik yang berjudul “Asal Muasal Pelukan” adalah: “… Jajannya yang sehat, jangan jajan yang output-nya p**p doang muehuehe”.

Sekali lagi saya sudah memperingatkan, bahwa ini bukanlah catatan serius yang bias dijadikan referensi oleh mahasiswa-mahasiswi semester akhir. Ini hanyalah catatan pengingat bahwa saya sudah stalking Timeline akun @fidoremifa yang koleksi bukunya gak nahanin hheu. Pesan terbaik yang bisa diambil dari TL akunnya adalah: 


Membaca merupakan investasi terbaik sepanjang hidup untuk kelangsungan hidup yang lebih baik tentunya. Mari menabung dan membaca buku. 


Oh iya, menambahkan tepat hari ini June 21, 2016 @fidoremifa tengah berulang tahun. Silakan mengirimkan segala doa kebaikan yang tidak dibatasi oleh hari tentunya :). Wish you all the best, do. 

Terimakasih telah membaca catatan yang tak penting hahaha.

Sekedar informasi, sub judul diatas adalah simpulan paling pendek hasil stalking dari @fidoremifa hahaha.

---

Read more...

"Hei kau, kenapa kita bersua kembali?"

>> Jumat, 13 Februari 2015

Kepada: F

 #1
Suatu hari di bulan Maret. Musim hujan mulai berakhir namun gemericik rintik sesekali berkunjung sekedar untuk menyapa tunas-tunas yang rindu akan hujan embun. Sebuah pesan kaukirim untuk pertama kalinya, ajakan untuk bersua. Heran. Padahal perjumpaan kita di hari-hari lalu tak pernah terencana hanya sebatas obrolan singkat dan sapaan hangat saat canda mencair di sela-sela gang sempit yang selalu ramai.

Isya menghampiri waktu, saat kaumenunggu sedangkan aku tengah termangu kemudian kita tak pernah bertemu di Rabu malam hari itu. Aku menolak lalu bersangka ada sebuah kolusi yang tengah dibangun entah kau dengan siapa atau siapa dengan siapa. Samar-samar berkabar integrasi ataupun mungkin nanti menjadi negasi.

Menjelang akhir April di suatu pagi menjelang siang yang entah harus disebut kebetulan atau bukan. Kau mengajakku berbincang tentang sebuah bumi dan matahari, perkenalan singkat atau perkenalan hangat, sederhana dengan secangkir kopi dan sebotol air putih di batuan pojok yang hampir setengah bundar. Lalu lalang manusia, kita lupa mereka.

Ambigu, dan aku tak hendak menebak atau bersangka kalau mereka yang kausebutkan adalah sebuah cerita tentang perasaan. Aku menjawab tepat di hari kelahiranmu pertengahan Mei, setelah perjumpaan hangat di awal Mei lalu. Saat itu kaukayuh sepeda dengan aku yang duduk di sadel belakang sambil memandang punggungmu yang dibalut kaos hitam panjang. Kukira itu salah langkah begitu juga denganmu yang ternyata keliru menebak rasaku. Aku hanya sebatas mengagumimu, tanpa bermaksud lebih untuk memiliki asa denganmu. Aku hanya ingin bersahabat denganmu.

Menjelang akhir di bulan yang sama kau menungguku dengan sabar. “Hai kau, kenapa kita bersua kembali?” pikiranku ingin bersembunyi darimu. Melewati dua purnama, ini ke-empat kalinya berkesempatan melihat wajahmu tanpa ingin menghilangkan canda yang kini mulai beku. Kita menikmati lakon yang kaku dan bosan. Ada rasa bahagia namun semu, aku masih sebatas mengagumimu.

Juni, Juli, Agustus. Kita bersahabat dan kian hangat. Bukan sekedar kagum, tapi kenyamanan yang lalu sekedar tunas, kini tumbuh dengan deras.
September. Pilihan yang tertunda kembali menghampiriku, dan aku tak hendak berpihak padanya. Dan kau tahu, sebuah senyummu telah dan tengah memenangkan hatiku. 

2/13/15. 11.21pm


Read more...

Makna Puisi Bagi Aku

>> Kamis, 16 Oktober 2014

31032014
@auliemalaa


Setidaknya
Aku mulai merasa kehilangan
Terima kasih Tuhan,
Setidaknya aku mulai berperasaan.
Soorjo Sani Santoso (Pada Tepi Hari Itu, n.d)

Pertengahan 2007
Aku menginjak kelas 9 pada Juli 2007 di sebuah SMP negeri di kota kelahiranku jauh di kaki gunung Ciremai. Saat itu usiaku kurang lebih 14 Tahun 6 bulan, entah berapa jumlah hari yang terlewati, aku tak mengingat dan menghitungnya. Tahun-tahun terakhir dari setiap momen belajar selalu saja menyimpan banyak cerita. Termasuk ceritaku yang berakhir di perpustakaan sekolah di hampir setiap jam kosong. Entah itu saat jam istirahat atau ketika guru membolos. Masa itu minat bacaku masih terhitung lumayan. Lumayan tinggi ketika dibandingkan tahun-tahun terakhir ini.
Eh, tapi kalau di perpustakaan hanya sekedar membaca buku bagiku adalah hal yang membosankan. Aku seringkali ikut nimbrung dengan anak-anak pustakawan untuk merapikan buku-buku dan melakukan kegiatan yang bersifat numpang lainnya hehe. Hingga suatu hari di pertengahan April 2008 aku tak sengaja menemukan beberapa kata yang tersusun dalam tiga baris. “Setidaknya” dengan font tebal membuatku tahu bahwa kata tersebut adalah judul sebuah puisi. Ingatanku masih menyala, kalimat-kalimat tersebut ada di halaman pertama sebuah buku kumpulan puisi karya Soorjo Sani Santoso, Pada Tepi Hari Itu. Entah penyair siapa dan yang mana sampai hari ini aku tak pernah tahu sosoknya. Hanya saja kalimat itu masih saja tumbuh dan mekar sampai hari ini. Sejak saat itu aku tahu, kalimatnya telah mencuri lebih banyak perhatianku. Aku terus saja membolak-balik isi dan halaman buku yang ukurannya tak seberapa. Buku tipis seukuran buku catatan kecilku.
Puisi memang bukanlah hal yang asing. Guru-guru bahasa Indonesiaku sudah mengenalkannya sejak masih duduk di bangku SD. Tapi entahlah, kalimat di halaman pertama itu serasa menjadi candu untukku menengok kalimat-kalimat yang kuanggap indah lainnya. Tak hanya di buku itu, tapi juga di buku kumpulan puisi atau pun sajak lainnya. Puisi memang soal rasa. Beda selera, beda kesukaan, beda pula memaknainya.  Mungkin saat kau membacanya tiga kalimat itu terasa biasa saja. Tapi bagiku lebih. Mereka seperti jiwa-jiwa yang tengah menghembuskan bunga madat padaku, dan aku menghisapnya dengan pasrah.
Saat itu mungkin pertama kalinya aku jatuh cinta, entah dengan siapa. Saru. Dengan penyair yang tak kuketahui rimbanya? Sajaknya yang kuanggap luar biasa? Atau dengan sosoknya kah, seseorang yang pernah menjadi cerita di imajinasiku dan seringkali kucuri pandangnya saat berlalu? Atau kau yang tak sengaja membaca ceritaku? Semuanya tak ada jawaban pasti.
Tiga tahun kemudian, 2010, seragamku berganti, putih abu-abu di hari Senin-Kamis, dan hijau muda sebagai seragam kebesaran sekolahku, MAS, Madrasah Aliyah Swasta. Aku memutuskan untuk melanjutkan sekolahku di sebuah kota kecil yang terletak di seberang barat salah satu sungai terbesar di Jawa Timur.
Saat itu ujian semester ganjil tengah berlangsung. Sudah menjadi kebiasaan dan kebijakan sekolah, ketika ujian akhir semester biasanya tempat duduk murid-murid di atur secara random sesuai kelasnya masing-masing. Murid kelas tiga biasanya ditempatkan dengan murid kelas satu. Kebetulan tahun itu juga menjadi tahun terakhirku sebagai anak SMA. Aku lupa duduk dengan siapa.
Ada cerita unik di hari ketiga saat ujian berlangsung. Selembar kertas, tergeletak di kolong meja begitu saja. Aku tak terlalu ambil pusing. Hanya saja kalimatnya… puitis. Iseng saja kutulis di balik halaman yang memang masih kosong, bersih tanpa coretan. “Lumayan puitis.” Dan kembali kuletakan lembaran kertas itu di tempat semula. Keesokan harinya, hal yang sama terjadi. Namun isi kalimatnya berbeda. Kesanku hanya satu “itu mungkin puisi”. Aku mulai berpikir, milik siapa? Namun tak jawaban pasti. Misteri yang menutup akhir tahunku di 2010. Dan berlanjut saat hari ulang tahunku di awal tahun 2011 berisi ucapan selamat. Juga pada pertengahan April di tahun yang sama. Padahal tempat dudukku udah pindah lho, dari pas ujian semester dulu. Tulisannya masih sama. Kalimatnya bukan tentang cinta atau apapun yang mengarah padanya. Tapi aku serasa dekat dan mengenalnya, isi dan maknanya.
Sampai menutup kisahku di masa Aliyah-ku pada Juli 2011. Aku berhasil mengarsipkan, setidaknya empat lembar puisi miliknya, kurasa itu pantas disebut puisi. Seseorang yang masih misterius sampai detik ini. Aha, mungkin itu kau? J
Aku adalah penikmat puisi, sampai hari ini pun masih penikmatnya walau pun tanpa secangkir kopi. Dari puisi aku belajar bagaimana seorang penyair mengeluarkan isi pikirannya melalui cara yang kadang sering tak kumengerti. Aku sering heran kenapa mereka bisa meramu kalimat-kalimatnya dengan cara yang langka. Berpikir tentang hal yang kadang seringkali tak pernah kupikirkan. Rasa penasaranku tak pernah berhasil dijelaskan oleh teori.
Memang belum banyak puisi-puisi yang kunikmati. Masih jelas terhitung oleh jari. Tak semuanya pun bisa asyik kuresapi. Membaca puisi, adalah meresapi pengalaman-pengalaman sendiri sebenarnya. Bukan merasai pemilik puisi itu, karena saat kita memaknainya sebenarnya hanyalah meraba melalui tafsiran cerita kita sendiri atau imajinasi yang tak pernah berhasil kita pecahkan. Itulah sebagian keegoisanku memaknai puisi. Entah dengan yang lainnya, atau pun denganmu. 

Read more...

Pulang

>> Kamis, 08 Mei 2014



Mala Himatul Aulia

Apakah pulang selalu menghantarkan kebahagiaan?
Pulang… sebentuk harapan atau sebuah bukti keputusasaan?
Pulang… kata yang selalu terulang dari rapalan bibir yang kadang muncul dari sela-sela alam sadar dan ketidaksadaran.
Pulang aku merindu pulang, jiwaku kini serasa gersang.
Pulang, ini seperti mantra yang terucap dari lidahku, menenangkan.
Aku tak tahu mengapa aku selalu ingin pulang, sedangkan persimpangan selalu menawarkan jamuan perjalanan yang gelap, kelam, dan asrar.
Tak sebenarnya gelap menandakan saatnya kau pulang.
Apa kau tahu apa itu gelap?
Sedangkan seumurmu saja tak pernah mengenal terang?
Sebuah cahaya yang kaudamba.
Mungkin saja gelap yang kaubuang adalah cahaya yang berpendar yang tak pernah kautangkap?
Atau mungkin terang yang kaupuja adalah gelap yang membunuh, menyisipkan bisa yang membuatmu padam, nyamar, retas, dan penyap?
Pulang bukanlah sekedar penjabalan antara gelap dan terang,
            bukan sebuah jawaban atas penantian dan hasrat.
Aku ingin pulang, tapi kaubilang nyinyir.
Aku merindu pulang tapi tak tahu mana tempat yang harusnya aku berpulang dan beristirahat.
Kau hanya segelintir debu yang memiliki angan. Aneh.
Pulang
Pulang
Pulang
Entah kemana pulangku berpasang?
Pintu, daun jendela, yang tak kuingat, ingin kuketuk dan kucecar dengan rasa yang harusnya hilang.
Aku ingin pulang pada rumah, rumah yang mengisi setiap labiri-labirin kecil dari celah hidup.
Ciputat, 8514. 1000.

Read more...

  © Blogger template Webnolia by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP