Makna Puisi Bagi Aku

>> Kamis, 16 Oktober 2014

31032014
@auliemalaa


Setidaknya
Aku mulai merasa kehilangan
Terima kasih Tuhan,
Setidaknya aku mulai berperasaan.
Soorjo Sani Santoso (Pada Tepi Hari Itu, n.d)

Pertengahan 2007
Aku menginjak kelas 9 pada Juli 2007 di sebuah SMP negeri di kota kelahiranku jauh di kaki gunung Ciremai. Saat itu usiaku kurang lebih 14 Tahun 6 bulan, entah berapa jumlah hari yang terlewati, aku tak mengingat dan menghitungnya. Tahun-tahun terakhir dari setiap momen belajar selalu saja menyimpan banyak cerita. Termasuk ceritaku yang berakhir di perpustakaan sekolah di hampir setiap jam kosong. Entah itu saat jam istirahat atau ketika guru membolos. Masa itu minat bacaku masih terhitung lumayan. Lumayan tinggi ketika dibandingkan tahun-tahun terakhir ini.
Eh, tapi kalau di perpustakaan hanya sekedar membaca buku bagiku adalah hal yang membosankan. Aku seringkali ikut nimbrung dengan anak-anak pustakawan untuk merapikan buku-buku dan melakukan kegiatan yang bersifat numpang lainnya hehe. Hingga suatu hari di pertengahan April 2008 aku tak sengaja menemukan beberapa kata yang tersusun dalam tiga baris. “Setidaknya” dengan font tebal membuatku tahu bahwa kata tersebut adalah judul sebuah puisi. Ingatanku masih menyala, kalimat-kalimat tersebut ada di halaman pertama sebuah buku kumpulan puisi karya Soorjo Sani Santoso, Pada Tepi Hari Itu. Entah penyair siapa dan yang mana sampai hari ini aku tak pernah tahu sosoknya. Hanya saja kalimat itu masih saja tumbuh dan mekar sampai hari ini. Sejak saat itu aku tahu, kalimatnya telah mencuri lebih banyak perhatianku. Aku terus saja membolak-balik isi dan halaman buku yang ukurannya tak seberapa. Buku tipis seukuran buku catatan kecilku.
Puisi memang bukanlah hal yang asing. Guru-guru bahasa Indonesiaku sudah mengenalkannya sejak masih duduk di bangku SD. Tapi entahlah, kalimat di halaman pertama itu serasa menjadi candu untukku menengok kalimat-kalimat yang kuanggap indah lainnya. Tak hanya di buku itu, tapi juga di buku kumpulan puisi atau pun sajak lainnya. Puisi memang soal rasa. Beda selera, beda kesukaan, beda pula memaknainya.  Mungkin saat kau membacanya tiga kalimat itu terasa biasa saja. Tapi bagiku lebih. Mereka seperti jiwa-jiwa yang tengah menghembuskan bunga madat padaku, dan aku menghisapnya dengan pasrah.
Saat itu mungkin pertama kalinya aku jatuh cinta, entah dengan siapa. Saru. Dengan penyair yang tak kuketahui rimbanya? Sajaknya yang kuanggap luar biasa? Atau dengan sosoknya kah, seseorang yang pernah menjadi cerita di imajinasiku dan seringkali kucuri pandangnya saat berlalu? Atau kau yang tak sengaja membaca ceritaku? Semuanya tak ada jawaban pasti.
Tiga tahun kemudian, 2010, seragamku berganti, putih abu-abu di hari Senin-Kamis, dan hijau muda sebagai seragam kebesaran sekolahku, MAS, Madrasah Aliyah Swasta. Aku memutuskan untuk melanjutkan sekolahku di sebuah kota kecil yang terletak di seberang barat salah satu sungai terbesar di Jawa Timur.
Saat itu ujian semester ganjil tengah berlangsung. Sudah menjadi kebiasaan dan kebijakan sekolah, ketika ujian akhir semester biasanya tempat duduk murid-murid di atur secara random sesuai kelasnya masing-masing. Murid kelas tiga biasanya ditempatkan dengan murid kelas satu. Kebetulan tahun itu juga menjadi tahun terakhirku sebagai anak SMA. Aku lupa duduk dengan siapa.
Ada cerita unik di hari ketiga saat ujian berlangsung. Selembar kertas, tergeletak di kolong meja begitu saja. Aku tak terlalu ambil pusing. Hanya saja kalimatnya… puitis. Iseng saja kutulis di balik halaman yang memang masih kosong, bersih tanpa coretan. “Lumayan puitis.” Dan kembali kuletakan lembaran kertas itu di tempat semula. Keesokan harinya, hal yang sama terjadi. Namun isi kalimatnya berbeda. Kesanku hanya satu “itu mungkin puisi”. Aku mulai berpikir, milik siapa? Namun tak jawaban pasti. Misteri yang menutup akhir tahunku di 2010. Dan berlanjut saat hari ulang tahunku di awal tahun 2011 berisi ucapan selamat. Juga pada pertengahan April di tahun yang sama. Padahal tempat dudukku udah pindah lho, dari pas ujian semester dulu. Tulisannya masih sama. Kalimatnya bukan tentang cinta atau apapun yang mengarah padanya. Tapi aku serasa dekat dan mengenalnya, isi dan maknanya.
Sampai menutup kisahku di masa Aliyah-ku pada Juli 2011. Aku berhasil mengarsipkan, setidaknya empat lembar puisi miliknya, kurasa itu pantas disebut puisi. Seseorang yang masih misterius sampai detik ini. Aha, mungkin itu kau? J
Aku adalah penikmat puisi, sampai hari ini pun masih penikmatnya walau pun tanpa secangkir kopi. Dari puisi aku belajar bagaimana seorang penyair mengeluarkan isi pikirannya melalui cara yang kadang sering tak kumengerti. Aku sering heran kenapa mereka bisa meramu kalimat-kalimatnya dengan cara yang langka. Berpikir tentang hal yang kadang seringkali tak pernah kupikirkan. Rasa penasaranku tak pernah berhasil dijelaskan oleh teori.
Memang belum banyak puisi-puisi yang kunikmati. Masih jelas terhitung oleh jari. Tak semuanya pun bisa asyik kuresapi. Membaca puisi, adalah meresapi pengalaman-pengalaman sendiri sebenarnya. Bukan merasai pemilik puisi itu, karena saat kita memaknainya sebenarnya hanyalah meraba melalui tafsiran cerita kita sendiri atau imajinasi yang tak pernah berhasil kita pecahkan. Itulah sebagian keegoisanku memaknai puisi. Entah dengan yang lainnya, atau pun denganmu. 

Read more...

Pulang

>> Kamis, 08 Mei 2014



Mala Himatul Aulia

Apakah pulang selalu menghantarkan kebahagiaan?
Pulang… sebentuk harapan atau sebuah bukti keputusasaan?
Pulang… kata yang selalu terulang dari rapalan bibir yang kadang muncul dari sela-sela alam sadar dan ketidaksadaran.
Pulang aku merindu pulang, jiwaku kini serasa gersang.
Pulang, ini seperti mantra yang terucap dari lidahku, menenangkan.
Aku tak tahu mengapa aku selalu ingin pulang, sedangkan persimpangan selalu menawarkan jamuan perjalanan yang gelap, kelam, dan asrar.
Tak sebenarnya gelap menandakan saatnya kau pulang.
Apa kau tahu apa itu gelap?
Sedangkan seumurmu saja tak pernah mengenal terang?
Sebuah cahaya yang kaudamba.
Mungkin saja gelap yang kaubuang adalah cahaya yang berpendar yang tak pernah kautangkap?
Atau mungkin terang yang kaupuja adalah gelap yang membunuh, menyisipkan bisa yang membuatmu padam, nyamar, retas, dan penyap?
Pulang bukanlah sekedar penjabalan antara gelap dan terang,
            bukan sebuah jawaban atas penantian dan hasrat.
Aku ingin pulang, tapi kaubilang nyinyir.
Aku merindu pulang tapi tak tahu mana tempat yang harusnya aku berpulang dan beristirahat.
Kau hanya segelintir debu yang memiliki angan. Aneh.
Pulang
Pulang
Pulang
Entah kemana pulangku berpasang?
Pintu, daun jendela, yang tak kuingat, ingin kuketuk dan kucecar dengan rasa yang harusnya hilang.
Aku ingin pulang pada rumah, rumah yang mengisi setiap labiri-labirin kecil dari celah hidup.
Ciputat, 8514. 1000.

Read more...

Cerita Calon Arang

>> Rabu, 23 April 2014




Mulutnya berceracau penuh mantra
Saban petang jampi pada lontar dibaca
Sesembahan dihaturkan pada dewi durga
Teluh disebarkan seantero nagara

Para brahmana mulai merapat
Kaum sudra lebih dulu mengumpat
Satria Sri Raja Erlangga pun minggat
Semua mendekat, merapat, mengumpat

Namanya Calon Arang
Seorang bomoh sakti dari negeri seberang
Anaknya Ratna Manggali
menjadi kurban ibunya yang sakti
Dikutuk perawan tua oleh para sudra

Empu Baradah seorang brahmana
Pun dipanggil pejabat istana
Lalu mengutus anak didiknya
Brahmana muda bernama Empu Bahula

Empu Bahula menikahi anaknya
Lalu tahulah kekuatan ibunya
Daun lontar berisi mantra
Dicurinya ketika malam tiba

Empu Baradah tahu kesaktiannya
Datanglah ia menantang titisan durga
Calon Arang tak punya daya upaya
Sirnalah mantranya sirnalah jiwanya.

Puisi
Mala Himatul Aulia
Literature
Writing 3
Ciputat, 23 04 2013

Read more...

Kepada Ibu; Pertiwi

>> Rabu, 19 Maret 2014



Mala Himatul Aulia

Barangkali tubuhmu adalah lahan-lahan yang menggiurkan
Yang membuat liur-liur para tengkulak bercucuran
Mereka memandangmu sebagaimana semut menjumpai remah
Tak ‘kan melepaskan lekukmu tanpa celah

Aku tahu bagaimana geliat wajahmu meruntuhkan bara
Berharap para penggilamu hentikan sengsara
Luka pada setiap keruk ceruk lekukmu

Mereka lupa,
Engkau adalah ibu yang terluka
Tapi mereka terlanjur melacurkan wajahnya pada dunia
Berharap setiap sen yang terkumpul
Adalah warna pada pipi perempuan-perempuannya
Adalah tawa pada wajah mungil anak-anaknya

Ibu, kini senggukmu tiada lagi berarti
Saat tanganku merabai labirin-labirin halus di wajahmu
Bercampur dengan mata air air mata pilumu

Sebab aku adalah air yang mengisi perasaanmu;
Labirin-labirin yang lebih besar di pusaran bumi yang bergejolak
Sebab aku adalah bah yang menyelimuti tidur mereka
Ketika malam pekat menggenggam erat tubuh-tubuh mereka
Ibu, aku menjawab resahmu
Walau kau bilang tak perlu

Ciputat, 19 Maret 2014 10.45 a.m.

Read more...

  © Blogger template Webnolia by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP